BERITA
23 Aug 2025, 16:01 PM
Moch Fattahur Razzaq
Admin Web
Menuju Haji Mabrur: Dari Makkah ke Medan Kehidupan
Oleh: MLBB
Setiap tahun, jutaan umat Islam dari berbagai penjuru dunia menempuh perjalanan suci menuju Tanah Haram. Mereka datang dengan harapan yang sama: menunaikan rukun Islam kelima dan pulang dengan gelar yang paling mulia—haji mabrur. Sebuah gelar yang tak bisa dibeli, tak bisa diwarisi, dan tak otomatis diperoleh hanya karena seseorang menyelesaikan rangkaian manasik haji.
Haji mabrur bukan sekadar ibadah yang sah secara fiqh, tapi terutama ditandai dengan perubahan nyata dalam kepribadian dan kehidupan seseorang. Rasulullah ﷺ bersabda:
"الحج المبرور ليس له جزاء إلا الجنة" “Haji mabrur tidak ada balasan lain kecuali surga.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Namun pertanyaannya kemudian: apa yang dimaksud dengan haji mabrur? Bagaimana tanda-tandanya, dan bagaimana kita menjaga kemabruran itu agar tak hanya sebatas momentum, tapi benar-benar menjadi titik balik spiritual yang berdampak luas?
Bukan Sekadar Label, Tapi Perubahan Hakiki
Dalam berbagai literatur tafsir dan hadis, para ulama menjelaskan bahwa haji mabrur adalah haji yang dilaksanakan dengan ikhlas, sesuai tuntunan Nabi Muhammad ﷺ, dan membawa perubahan positif dalam hidup seseorang. Imam Nawawi menyebut bahwa di antara tanda haji mabrur adalah "tidak lagi kembali kepada kemaksiatan" serta "semakin banyak melakukan kebaikan dan ibadah."
Artinya, seorang yang pulang dari haji, tetapi masih gemar menipu, menyakiti, berbohong, dan meremehkan kewajiban agama, maka ia perlu mengevaluasi kembali substansi hajinya.
Haji bukanlah tujuan akhir. Ia adalah gerbang awal untuk melangkah ke kehidupan baru—hidup yang lebih bersih, penuh makna, dan penuh tanggung jawab sosial.
Dua Belas Ciri Haji Mabrur
Berikut dua belas sikap dan karakter yang menjadi indikator kuat menuju haji mabrur:
Orang yang telah berhaji hendaknya memiliki akhlak yang lebih baik dibandingkan sebelumnya. Ia lebih sabar, rendah hati, tidak emosional, dan bijak dalam menyikapi masalah. Perubahan ini menjadi sinyal awal bahwa ia benar-benar tersentuh oleh pengalaman spiritualnya di Tanah Suci.
Di Padang Arafah dan Mina, para jamaah ditempa untuk bersabar dan menahan diri. Sepulang dari sana, semestinya lisannya menjadi lebih santun, tidak menyakiti orang lain, serta mampu menyampaikan nasihat dengan kelembutan. Kata-katanya menyejukkan, bukan membakar emosi.
Haji mabrur mendorong seseorang menjadi duta perdamaian. Ia ringan tangan membantu, tidak suka membalas keburukan dengan keburukan, dan senantiasa mencari cara agar keberadaannya membawa manfaat bagi orang lain. Hidupnya menjadi “rahmatan lil alamin” dalam skala kecil.
Haji mengajarkan persaudaraan global. Di Arafah, kita berdiri sejajar dengan saudara dari Palestina, Yaman, Afrika, Asia, tanpa kasta dan perbedaan. Maka, sepulang haji, tak layak jika seorang haji mabrur cuek terhadap penderitaan umat, apalagi terhadap tragedi kemanusiaan seperti yang menimpa bangsa Palestina.
Seorang haji mabrur bukan mencari gelar sosial, bukan demi prestise keluarga, melainkan karena mengharap ridha Allah. Keikhlasan inilah yang membuat amal diterima dan berdampak mendalam. Ikhlas juga mencegah riya dan sum’ah yang merusak amal.
Haji melatih kita pada amanah waktu, amanah aturan, dan amanah hak sesama. Seorang haji mabrur tak akan mengkhianati kepercayaan, baik dalam pekerjaan, tanggung jawab keluarga, maupun kehidupan bermasyarakat.
Haji adalah perjalanan jihad spiritual. Ia membakar semangat untuk berdakwah dan memperjuangkan nilai-nilai Islam dalam kehidupan. Bukan berarti harus jadi penceramah, tapi menjadi teladan dalam keluarga, tempat kerja, dan masyarakat adalah bentuk dakwah yang nyata.
Salah satu dosa yang menghalangi rezeki dan menyebabkan terputusnya hubungan dengan Allah adalah memutus silaturahmi. Maka, haji yang mabrur mendorong kita untuk meminta maaf, memaafkan, dan membangun kembali hubungan yang sempat retak.
Di Tanah Suci, kita menyaksikan lautan ilmu dari berbagai bangsa. Pengalaman ini semestinya memotivasi seorang haji untuk terus belajar, menambah pengetahuan, dan memperdalam pemahaman agama. Haji mabrur tak berhenti di Makkah, tapi tumbuh bersama ilmu.
Ketaatan yang dilatih selama haji akan sia-sia jika sepulangnya kembali pada perbuatan dosa. Seorang haji mabrur menjaga diri dari maksiat, baik yang tampak maupun yang tersembunyi. Ia menjaga pandangan, lisan, hati, dan langkah.
Salah satu syarat penting diterimanya haji adalah sumber dananya harus halal. Harta haram hanya akan mengotori amal. Maka, seorang yang sungguh-sungguh mengharapkan haji mabrur, akan memastikan seluruh biaya perjalanannya bersih dari unsur riba, suap, dan penipuan.
Menzalimi, menipu, atau merampas hak sesama adalah dosa besar. Haji mabrur melatih kita untuk jujur dan adil. Ia tidak tega menindas, tidak ingin mengambil sesuatu yang bukan haknya, bahkan tak sanggup menyakiti hati orang lain.
Haji Bukan Akhir, Tapi Awal Perubahan
Salah satu kekeliruan yang sering terjadi di masyarakat adalah menganggap haji sebagai “puncak” ibadah. Padahal, dalam banyak hal, ia adalah “permulaan baru”.
Seorang alumni haji ibarat bayi yang lahir kembali. Rasulullah ﷺ bersabda:
“Siapa yang berhaji dan tidak berkata kotor serta tidak berbuat fasik, maka ia akan kembali (dari haji) seperti hari ia dilahirkan oleh ibunya.” (HR. Bukhari)
Kelahiran kembali itu mestinya disambut dengan kehidupan baru. Jika sebelumnya malas salat, kini rajin. Jika sebelumnya mudah marah, kini lebih sabar. Jika sebelumnya abai terhadap orang miskin, kini lebih peduli.
Menjaga Kemabruran
Kemabruran bukan hasil akhir, tapi sesuatu yang perlu dijaga dan dipelihara sepanjang hidup. Ia bisa hilang jika seseorang kembali pada keburukan yang dulu. Maka diperlukan komitmen kuat, lingkungan yang mendukung, dan niat yang terus diperbarui.
Di sinilah pentingnya jamaah pascahaji. Komunitas ini bisa menjadi ruang saling mengingatkan, berbagi ilmu, serta memperkuat tali silaturahmi. Di beberapa tempat, bahkan dibentuk majelis haji mabrur yang aktif dalam kegiatan sosial, dakwah, dan ekonomi umat.
Penutup: Mabrurnya Haji, Mandirinya Umat
Haji mabrur bukan hanya urusan individu. Jika berjuta-juta jamaah Indonesia pulang dari Tanah Suci dan benar-benar berubah, maka dampaknya akan terasa luas. Akan lahir masyarakat yang lebih jujur, peduli, damai, dan penuh semangat membangun.
Bayangkan jika para haji menjadi teladan akhlak di desanya, penggerak zakat dan infak di lingkungannya, pembina moral di keluarganya, dan penyambung tali kasih di tengah konflik sosial—maka sesungguhnya haji mabrur telah menanam benih kemuliaan di bumi Nusantara ini.
Dan semoga kita semua, yang pernah atau akan menunaikan ibadah haji, diberi taufik untuk meraih derajat yang mulia itu. Haji yang mabrur, hidup yang makmur, dan akhirat yang bercahaya.
اللهم اجعل حجنا حجا مبرورا وسعيا مشكورا وذنبا مغفورا وعملا صالحا مقبولا، آمين.
MLBB, Penulis adalah pembimbing ibadah haji, pendidik, dan aktivis dakwah kemanusiaan. Saat ini sedang menjalani musim haji bersama jamaah Indonesia di Tanah Suci.